Rabu, 30 Agustus 2017

Teman Lama

Namanya Stefanus. Teman sekelas di SMP.

Meskipun tidak tahu persis bagaimana peristiwa mengerikan itu bermula, saya terlibat atas apa yang dilakukan olehnya. Saat kejadian saya berada di depan kelas, menunaikan tugas berat nan mulia sebagai juru gambar. Saya memangku jabatan ini sejak dipilih secara aklamasi saat pelajaran biologi di awal tahun ajaran kelas tiga (yang belakangan ini disebut dengan kelas sembilan. Baiklah, saya memang cah lawas).

Pada zaman tersebut, buku paket adalah buku keramat yang harus dijadikan pedoman dan petunjuk. Siapapun yang hendak memilikinya harus pergi ke barat mendampingi Tom Sam Chong. Isi adalah kosong, kosong adalah isi.

Buku paket hanya ada satu, dimiliki oleh guru. Kami, para murid, tidak mampu membeli. Selain harganya pasti mahal, kami belum tahu membelinya di mana. Sekolah kami berada di desa, toko buku adalah tempat yang jauh nan asing.

Materi masih disampaikan dengan metode konvensional. Dicatat terlebih dulu, baru setelahnya akan diterangkan oleh guru. Untuk catat mencatat sudah tentu menjadi urusan sekretaris.

Tidak seperti juru gambar, sekretaris adalah jabatan bergengsi. Untuk menjadi sekretaris, harus memenuhi kriteria tertentu. Harus perempuan, cantik, tinggi badan cukup -setidaknya cukup menguasai ¾ dari tinggi papan tulis-, cekatan, teliti, dan juga tulisan tangannya harus rapi.

Syarat yang bias gender tersebut dimaksudkan untuk membuat nyaman dan mendongkrak semangat belajar. Bagaimana kami akan semangat jika sekretarisnya serupa laki-laki mbelgedes yang dia sendiri akan girap-girap ketakutan tiap kali bercermin?

Maka, haram bagi laki-laki untuk menjabat sekretaris kelas. Paling ganteng dengan rambut belah tengah sekalipun. Perempuan di kelas kami pun punya selera yang bagus. Kala itu kiblat mereka adalah para personel F4, serial Meteor Garden.

Syukurlah. Kelas kami punya sekretaris yang lebih dari cukup untuk memenuhi kriteria tersebut. Tapi ya itu, kemampuan menggambarnya sungguh payah.

Tidak usah saya catatkan namanya. Dia telah bersuami.

Hanjuk ngopo?

Terpilihnya saya sebagai juru gambar sebenarnya bukan berarti sayalah yang terbaik. Ada satu, dua atau bahkan tiga dari sekian teman sekelas yang lebih mumpuni. Alasan dipilih karena saat itu –pun masih sampai sekarang (mbel!)- saya dikenal sebagai anak yang manutan, njlemo, penurut dan nggah-nggih. Saya tentu saja tak kuasa menolak ketika yang ndawuhi adalah ibu guru yang baik hati seperti Bu Marjilah.

Hari itu saya harus menggambar organ. Lebih tepatnya organ reproduksi perempuan. Bukan organ tunggal o a o e, apalagi organ yang mantan personel Sm*sh.

Dengan yakin namun hati-hati saya menirukan citra yang tergambar di lembar buku paket ke papan tulis. Saya usahakan presisi dan detil. Ketika terdapat goresan kapur yang salah, segera saya hapus menggunakan telapak tangan lalu saya kolotkan ke celana. Totalitas dan crobo!

Saya bolak-balik melihat ke buku paket untuk memastikan gambar saya sudah bagus dan mendekati benar. Imajinasi tidak cukup membantu kala itu. Tentu sulit untuk membayangkan bagaimana bentuk sebenarnya ketika belum melihat secara langsung.

Cekikak-cekikik itu kemudian terdengar. Saya menengok. Jangan-jangan ada yang menertawakan saya. Bagi seorang remaja pemalu yang berdiri di depan kelas seorang diri, suara bisik-bisik tipis saja sudah cukup untuk membuat kepercayaan diri menjadi ambyar.

Cekikak-cekikik sudah berubah menjadi keributan kecil. Asal suara dari mejanya Stefanus. Teman yang duduk di sampingnya bernama Yahya, terlihat mesam-mesem. Dua teman yang duduk di depannya menoleh ke belakang. Satu teman di belakangnya berdiri jinjit berusaha melongok. Mata mereka tertuju pada buku catatan Stefanus.

Bu Marjilah yang sedari tadi duduk di bangku kosong paling belakang segera beranjak menuju sumber keributan. Kelas kembali senyap.

Begitu melihat apa yang menjadi penyebabnya beliau nampak ngampet tertawa. Saya dan teman lainnya makin penasaran.

Rupanya Stefanus hari itu terlalu bersemangat. Organ genital digambar berukuran luar biasa besar. Jumbo. Hampir satu halaman penuh. Bentuknya pun, yaa salaaaaamm ... lebih mirip gambar wajah monster!

Teman-teman berkerumun. Saya pun bergerak mundur karena ingin tahu bagaimana gambar yang saya buat dengan susah payah di papan tulis ditiru secara serampangan oleh Stefanus.

Huru-hara belum terjadi karena Bu Marjilah lebih dulu menguasai kelas. Pelajaran dilanjutkan.

Saya kembali bertugas. Stefanus malah tolah-toleh.




Advertiser