Kamis, 03 Maret 2016

Wahai Pemuda Desa, Sudah Makan?



Konon, negara Indonesia adalah negara agraris, gemah ripah loh jinawi. Hal ini disebabkan karena negera ini mempunyai daratan yang luas dan subur. Banyak lahan dan potensi lain dari sektor pertanian yang dikatakan bakal mampu memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk. Tentu saja itu baru merupakan sebuah wacana, karena saat ini masalah pangan masih menjadi persoalan.
Apa yang salah? Tentu bukan kapasitas saya yang hanya pemuda dusun ini untuk menyoroti persoalan pangan sebuah negara. Lha wong ngasih makan anak-istri saja belum becus kok (Belum punya istri sih, soale).

Tapi begini; saya kok sering bertanya kepada rumput yang bergoyang kenapa generasi muda-sumber daya manusia potensial- yang digadang-gadang bakal menjadi harapan bangsa di masa mendatang kok sepertinya semakin jauh dari pertanian? Semoga ini hanya praduga subyektif semata yang tidak terbukti kebenarannya.

Metode observasi saya memang tidaklah akurat. Saya hanya mengamati diri saya sendiri dan lingkungan saya. Saya ndilalahnya lahir dari kelaurga petani  dan besar di lingkungan pedesaan. Di desa saya (dan mungkin juga di desa-desa lain) terjadi hal yang demikian ironi, sudah jarang ditemui anak-anak muda yang memegang pacul atau arit dengan riang gembira. Ini di desa lho, yang sangat mungkin sekali  pertanian menjadi salah satu sumber utama penghasilan. Justru desa malah semakin jauh meninggalkan pertanian,  utamanya dari sumber daya manusianya.

Memang karena kemajuan pendidikan, pemuda desa sekarang sudah lebih kopen. Sekolah-sekolah sudah mudah dijangkau hingga pelosok desa yang terpencil. Hampir setiap penduduknya sudah pernah rasan namanya pendidikan. Tidak sedikit yang bisa mencapai perguruan tinggi. 

Dari sekolah itu kemudian banyak anak yang tahu bahwa kesuksesan adalah sebuah keniscayaan bagi mereka. Rumusnya adalah belajar sungguh-sungguh, berusaha dan bekerja keras.

Sayangnya ada semacam pembiasan pemaknaan kesuksesan dan paradigma sempit mengenai bekerja. Bekerja menurut sebagian dari mereka adalah melakukan pekerjaan non petani, bukan berladang dan memelihara ternak sebagaimana yang dilakukan oleh orang tua mereka. Mereka mulai mengisi kolom cita-cita dengan pekerjaan-pekerjaan mentereng seperti pegawai negeri, polisi, pilot, akuntan dan lain sebagainya. Pokoknya yang menurut mereka gajinya gede, itu bakal mengantarkan mereka ke muara kesuksesan.

Ada sebagian anak desa yang menjadi bupati, tentara, guru berprestasi atau bahkan artis dangdut ternama yang dipuja-puja. Namun tidak sedikit yang demi mengejar kesuksesan tadi harus menggadaikan ijazah di beberapa perusahaan.

Sayangnya pekerjaan semacam itu tidak tersedia luas di desa. Mereka harus berduyun-duyun bermigrasi menuju ke kota, merantau. Dengan kemampuan seadanya banyak dari pemuda desa yang nekat ke kota-kota besar dengan berjuta harapan.

Lalu terjadilah lonjakan jumlah perantau ‘pengejar kesuksesan’ di kota besar. Tidak heran jika sekarang kota menjadi semakin sumpek, semakin riuh dan macet. Karena keterbatasan kompetensi dan kompetisi yang sengit, kebanyakan dari mereka hanya sebagai karyawan dengan penghasilan pas-pasan. Buktinya demo kenaikan gaji buruh masih sering terjadi.

Hal yang kontra terjadi di desa yang mereka tinggalkan, sepi dan semakin memprihatinkan. Banyak lahan pertanian yang tidak diurus, mangkrak. Pemuda yang  tenaganya masih cukup banyak telah kabur menjadi bagian dari hiruk-pikuk kota besar. Desa akan kembali ramai nanti saat hari raya tiba, itu pun hanya sesaat.

Saya melihat ada beragam persoalan yang terjadi di desa karena fenomena ini. Saya ambil contoh paling kecil mengenai masalah sosial. Karena ditinggal merantau anaknya, banyak orang tua yang sudah sepuh harus pontang-panting mempertahankan hidup. Anaknya yang diharapkan mengirim uang malah jarang berkirim kabar. Lha piye meneh, yang hasil buruhnya habis untuk biaya hidup di kota je.

Ada juga kemudian banyak persoalan kenakalan remaja yang disebabkan karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua. Orang tuanya merantau, si anak dititipkan simbahnya di dusun. Dalam kurun waktu tertentu si anak dikirimi uang untuk biaya sekolah di desa (yang agak murah) dan untuk hidup sehari-hari. Celakanya, bukan bentuk perhatian seperti itu yang diharapkan si anak. Karena kurangnya pengawasan, banyak anak-anak yang melenceng moralitasnya. Ini benar-benar terjadi, meskipun saya tidak berani menggeneralisir.

Saya tidak bilang merantau itu jelek lho! Merantau bagus untuk pengembangan diri, menempa mental dan kepribadian mandiri. Tapi kan juga harus diniatkan dengan sungguh-sungguh, mempunyai tujuan yang jelas dan juga berbekal kapasitas kemampuan yang cukup serta benar-benar memperhatikan aspek peluang dan resikonya.

Jika di desa sendiri punya peluang untuk sukses, kenapa harus pergi jauh. Bekerja di desa itu tidak salah-bisa jadi malah menyenangkan. Menjadi petani salah satunya. Alangkah indahnya jika desa kembali menjadi hijau subur kembali dan lebih maju karena pemudanya.

Advertiser