Konon, negara Indonesia adalah negara agraris, gemah ripah
loh jinawi. Hal ini disebabkan karena negera ini mempunyai daratan yang luas
dan subur. Banyak lahan dan potensi lain dari sektor pertanian yang dikatakan
bakal mampu memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk. Tentu saja itu baru
merupakan sebuah wacana, karena saat ini masalah pangan masih menjadi persoalan.
Apa yang salah? Tentu bukan kapasitas saya yang hanya pemuda
dusun ini untuk menyoroti persoalan pangan sebuah negara. Lha wong ngasih makan
anak-istri saja belum becus kok (Belum punya istri sih, soale).
Tapi begini; saya kok
sering bertanya kepada rumput yang bergoyang kenapa generasi muda-sumber daya
manusia potensial- yang digadang-gadang bakal menjadi harapan bangsa di masa
mendatang kok sepertinya semakin jauh dari pertanian? Semoga ini hanya praduga
subyektif semata yang tidak terbukti kebenarannya.
Metode observasi saya memang tidaklah akurat. Saya hanya
mengamati diri saya sendiri dan lingkungan saya. Saya ndilalahnya lahir dari
kelaurga petani dan besar di lingkungan
pedesaan. Di desa saya (dan mungkin juga di desa-desa lain) terjadi hal yang
demikian ironi, sudah jarang ditemui anak-anak muda yang memegang pacul atau
arit dengan riang gembira. Ini di desa lho, yang sangat mungkin sekali pertanian menjadi salah satu sumber utama
penghasilan. Justru desa malah semakin jauh meninggalkan pertanian, utamanya dari sumber daya manusianya.
Memang karena kemajuan pendidikan, pemuda desa sekarang
sudah lebih kopen. Sekolah-sekolah sudah mudah dijangkau hingga pelosok desa yang terpencil. Hampir
setiap penduduknya sudah pernah rasan namanya pendidikan. Tidak sedikit yang
bisa mencapai perguruan tinggi.
Dari sekolah itu kemudian banyak anak yang tahu bahwa
kesuksesan adalah sebuah keniscayaan bagi mereka. Rumusnya adalah belajar
sungguh-sungguh, berusaha dan bekerja keras.
Sayangnya ada semacam pembiasan pemaknaan kesuksesan dan
paradigma sempit mengenai bekerja. Bekerja menurut sebagian dari mereka adalah
melakukan pekerjaan non petani, bukan berladang dan memelihara ternak
sebagaimana yang dilakukan oleh orang tua mereka. Mereka mulai mengisi kolom
cita-cita dengan pekerjaan-pekerjaan mentereng seperti pegawai negeri, polisi,
pilot, akuntan dan lain sebagainya. Pokoknya yang menurut mereka gajinya gede,
itu bakal mengantarkan mereka ke muara kesuksesan.
Ada sebagian anak desa yang menjadi bupati, tentara, guru
berprestasi atau bahkan artis dangdut ternama yang dipuja-puja. Namun tidak
sedikit yang demi mengejar kesuksesan tadi harus menggadaikan ijazah di
beberapa perusahaan.
Sayangnya pekerjaan semacam itu tidak tersedia luas di desa.
Mereka harus berduyun-duyun bermigrasi menuju ke kota, merantau. Dengan
kemampuan seadanya banyak dari pemuda desa yang nekat ke kota-kota besar dengan
berjuta harapan.
Lalu terjadilah lonjakan jumlah perantau ‘pengejar
kesuksesan’ di kota besar. Tidak heran jika sekarang kota menjadi semakin sumpek,
semakin riuh dan macet. Karena keterbatasan kompetensi dan kompetisi yang
sengit, kebanyakan dari mereka hanya sebagai karyawan dengan penghasilan
pas-pasan. Buktinya demo kenaikan gaji buruh masih sering terjadi.
Hal yang kontra terjadi di desa yang mereka tinggalkan, sepi
dan semakin memprihatinkan. Banyak lahan pertanian yang tidak diurus, mangkrak.
Pemuda yang tenaganya masih cukup banyak
telah kabur menjadi bagian dari hiruk-pikuk kota besar. Desa akan kembali ramai
nanti saat hari raya tiba, itu pun hanya sesaat.
Saya melihat ada beragam persoalan yang terjadi di desa karena
fenomena ini. Saya ambil contoh paling kecil mengenai masalah sosial. Karena
ditinggal merantau anaknya, banyak orang tua yang sudah sepuh harus
pontang-panting mempertahankan hidup. Anaknya yang diharapkan mengirim uang
malah jarang berkirim kabar. Lha piye meneh, yang hasil buruhnya habis untuk
biaya hidup di kota je.
Ada juga kemudian banyak persoalan kenakalan remaja yang
disebabkan karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua. Orang tuanya
merantau, si anak dititipkan simbahnya di dusun. Dalam kurun waktu tertentu si
anak dikirimi uang untuk biaya sekolah di desa (yang agak murah) dan untuk hidup
sehari-hari. Celakanya, bukan bentuk perhatian seperti itu yang diharapkan si
anak. Karena kurangnya pengawasan, banyak anak-anak yang melenceng
moralitasnya. Ini benar-benar terjadi, meskipun saya tidak berani
menggeneralisir.
Saya tidak bilang
merantau itu jelek lho! Merantau bagus untuk pengembangan diri, menempa mental
dan kepribadian mandiri. Tapi kan juga harus diniatkan dengan sungguh-sungguh,
mempunyai tujuan yang jelas dan juga berbekal kapasitas kemampuan yang cukup
serta benar-benar memperhatikan aspek peluang dan resikonya.