Rabu, 11 Oktober 2017

10 Cita-cita yang Belum Tercapai

Mecuatnya nama Dwi Hartanto, mas-mas intelektuil yang akhirnya mengakui kebohongan atas prestasi-prestasinya itu membuat saya merenung. Apa coba tujuannya melakukan semua itu? Apakah agar terlihat hebat? Apakah harus mempertaruhkan rasa berdosa dan malu hanya untuk terlihat hebat?

Lebih jauh lagi perenungan saya. Apakah saya, juga mungkin orang-orang lainnya pernah mengalami dan melakukan seperti yang Mas Dwi lakukan?

Tekanan saat proses pendidikan memang bisa menjadi persoalan. Banyak kasus stres hingga depresi yang terjadi pada pelajar karena tertekan. Saya sendiri pernah merasakan hal serupa. Saya sedemikian tertekan karena ketakutan mengadapi ujian nasional. Masih untung waktu itu saya tidak sampai level berjoget-joget di depan pengawas.

Ketika saya sekolah, maka saya harus pintar. Itu beban yang saya buat untuk saya pikul sendiri. Sebagai bentuk pertanggungjawaban. Tentu saya beberapa kali pernah kewalahan. Untuk mengatasinya, ya dengan berbohong. Ditanya orang tua, dapat nilai delapan padahal sejatinya hanya empat. Agar mereka bahagia dan bangga?

Iya.

Tapi haruskah dengan berbohong?

Misalnya nih, saya belajar ilmu ekonomi. Beban saya adalah, saya harus tahu segalanya mengenai hal tersebut. Ketika seorang teman beda jurusan yang tidak begitu pintar bertanya soal Economic Value Added (EVA), maka saya harus menjawab sesempurna mungkin.

Begini lho, Dik, di dalam corporate finance, Economic Value Added adalah perkiraan keuntungan ekonomi perusahaan, atau nilai yang tercipta melebihi dari pengembalian yang diminta dari pemegang saham perusahaan. EVA adalah laba bersih dikurangi biaya ekuitas modal perusahaan. Idenya adalah bahwa nilai diciptakan ketika pengembalian modal ekonomi perusahaan yang dipekerjakan melebihi biaya modal tersebut. Jumlah ini dapat ditentukan dengan melakukan penyesuaian terhadap akuntansi GAAP. Ada kemungkinan lebih dari 160 penyesuaian namun pada praktiknya hanya ada beberapa kunci yang dibuat, bergantung pada perusahaan dan industrinya. EVA adalah tanda layanan Stern Value Management.

Jawaban itu harus saya sampaikan dengan yakin. Pastikan respon si teman ini harus ndomblong. Kalau perlu, ditambah lagi dengan istilah-istilah aneh lagi yang membuat semakin membingungkan. Semakin dia bingung, semakin baik. Semakin dia budrek, semakin berhasil.

Toh, kecil kemungkinan dia bakal mengecek jawaban itu yang nyatanya dari wikipedia yang saya terjemahkan dengan Gugel Translet. Memprihatinkan.

Kemungkinan penyebab berikutnya adalah karena cita-cita yang ketinggian. Gegedhen penggayuh, istilahnya. Itu juga menyiksa. Mas Dwi pengen banget membuat roket canggih. Tapi karena mungkin dia belum mampu, ya ndobos dulu lah.

Maka pada kesempatan ini saya akan menulis cita-cita saya yang belum terwujud hingga hari ini. Maksud saya, jika kelak saya ketahuan ndobos itu tidak lain dan tidak bukan karena siksaan penggayuh saya.

Kenapa saya hari ini malah mbahas begini tidak membahas wit-witan seperti biasanya? Saya juga nggak tahu kenapa.

Lagian yo nggak papa to saya mbahas begini. Ini blog pribadi, mau saya tulisi apapun juga nggak papa to, ya?  Ndilalah saya juga habis ulang tahun, momentum yang pantas untuk bermuhasabah diri.

Ulang tahun keberapa? Rahasia dong!

Berikut ini daftar cita-cita saya:

1. Menjadi Pendekar

Mungkin gara-garanya saya keseringan nonton serial Wiro Sableng dan membaca beberapa karya Bastian Tito. Saya dulu juga sempat kedanan sandiwara radio berjudul Tutur Tinular. Kadang sembari menyimak saya membayangkan, Arya Kamandanu itu adalah saya dan Nari Ratih wujudnya serupa teman sekelas SD yang rambutnya diponi.

Kok pendekar lokalan? Jangan salah, saya pernah pingin jadi Power Rangers. Kadang saya menganggap yang jadi Tommy itu pantasnya adalah saya. Ganteng, macho, dan gondrong. Bedanya dia itu gondrong di belakang, saya gondrong di depan. Saya tahu benar soal Toomy, dia dulu ikut PPP kemudian PKS. Eh salah, maksudnya dulu ranger hijau kemudian jadi ranger putih. Saya pernah membuat Pedang Harimau. Pake bambu.

Itu cita-cita saya semasa kanak-kanak. Saya kira lumrah. Banyak teman sebaya yang mempunyai hobi numpang nonton tipi di tempat tetangga pada hari Minggu mempunyai cita-cita serupa.

Jinguk! Barusan saya kelepasan membocorkan usia.

2. Menjadi Gitaris

Entah kenapa dulu saya pingin sekali menjadi musisi, menjadi gitaris. Gitaris itu keren. Gitaris itu … ya gitu, keren. Kayak Mas Erros. Kayaknya gitar adalah senjata paling asik buat ngrayu ciwik-ciwik. Bukan Pedang Harimau, bukan pula Pedang Naga Puspa.

Saya membeli gitar. Mulai memainkannya.

Alhamdulillah, saya kesampaian buat manggung meskipun hanya di pensi teman sejurusan waktu ospek. Bertiga, dengan Ember dan Fiki. Fiki vokalisnya, Ember yang main gitar. Lha saya? Saya pegang mic, biar suara gitar yang dipetik Ember kedengeran. Karena panitia tidak menyediakan alat yang bisa mumpuni, maka harus ada yang menunaikan tugas super keren tersebut.

Ya, gitu. Saya duduk saja, clingak-clinguk sambil megangi mic sampai Fiki selesai nyanyi. Keren kan?

Sampai saat ini saya masih pingin bisa nggitar. Tapi gitar saya rusak. Padahal saya baru menguasai 3 kunci dasar.

3. Menjadi Guru

Baiklah! Kali ini yang serius.

Ini sungguhan. Saya pingin menjadi guru. Guru itu keren. Lebih keren dari gitaris. Tapi mungkin yang paling keren adalah guru yang bisa nggitar.

Saya masih bisa mengingat nama guru TK saya, Bu Wartini. Saya punya banyak guru idola.  Saya menghormati beliau-beliau semua. Tanpa mereka, nasib saya mungkin tidak lebih baik dari benang yang nglawer di sempak. Dicabut mbrodoli, nggak dicabut nggriseni.

Saya sudah membuat rencana. Saya sudah berangkat mendaftar kuliah keguruan, jurusan PGSD. Namun semesta berkehendak lain, sehari sebelum saya mendaftar adalah hari terakhir pendaftaran jurusan tersebut. Saya terlambat.

Mengulang tahun depan sudah tidak mungkin bagi saya, dua tahun sebelumnya saya sudah mandeg tidak kuliah. Saya nggak mau menjadi tertua di antara teman seangkatan.

Saya kemudian melipir.

4. Menjadi Insinyur Pertanian

Ini cita-cita saya yang saya lantangkan sejak kelas 5 SD. Saat itu Pak Ngadiran, wali kelas kami, meminta semua murid melantangkan cita-cita. Saya bingung, kemudian asal menjawab. Saya lupa juga waktu itu dapat kata insinyur dari mana.

Insinyur itu hebat. Presiden pertama Soekarno adalah seorang insinyur. Saya juga beruntung pernah belajar langsung dari seorang guru, Ir. Maryoto.

Cita-cita tersebut tentu saja kandas. Sebab di usia kuliah gelar itu sudah tidak saya temukan lagi. Setelah munculnya gelar akademik sarjana , gelar insinyur tidak lagi digunakan oleh perguruan tinggi sebagai gelar akademik melainkan sebagai gelar profesi.

Dulu, bahkan sampai sekarang, saya menganggap sarjana pertanian tidak lebih sakti daripada insinyur pertanian?

9. Menulis Buku

Sebelum-sebelumnya saya tidak pernah menginginkan ini. Ini bukan cita-cita dari masa kecil. Ini cita-cita yang baru saja saya pikirkan lalu saya cantumkan dalam daftar ini. Makanya, saat ini saya belum  bisa mengutarakan spesifik. Nulis buku apa, misalnya. Bisa buku kasbon atau buku gambar.

Buku gambar itu buat digambari, bukan ditulisi. Hambok ben! Buku-buku saya ini. Sakarep saya dong!

10. Menjadi Tukang Ngeblog yang Bermanfaat Untuk Umat

Cukup jelas. Tidak perlu saya jelaskan cita-cita mulia ini.

Sudah saya tuliskan cita-cita saya yang tidak, atau mungkin belum tercapai. Mohon doanya, saya tidak sampai kehilangan kewarasan untuk menggapai hal-hal demikian.

Baiklah. Saya mengaku. Saya telah berbohong. Saya menulis tidak sesuai judul. Sebenarnya cita-cita saya yang belum tercapai itu banyak. Malah lebih dari sepuluh. Tapi menuliskan semuanya tidak akan menjadikan saya lebih baik. Saya akan semakin menjadi orang yang kemrungsung. Karena saya juga perlu mencermati banyaknya cita-cita tercapai yang tentu saja sangat patut saya syukuri.

Eh, menikah termasuk cita-cita juga kan, ya?

Advertiser